Sabtu, 13 Agustus 2011

pembatal puasa dan yang diperbolehkan

,
Buletin Al Wala’ wal Bara’
Edisi ke-48 Tahun ke-2 / 22 Oktober 2004 M / 08 Ramadhan 1425 H
Pembatal Puasa
Di antara rukun puasa adalah meninggalkan segala sesuatu yang membatalkannya dari terbit fajar (mulainya waktu shalat shubuh) sampai tenggelamnya matahari, di samping berniat di malam hari sebelum fajar untuk melaksanakan puasa Ramadhan. Maka di sini akan dibahas hal-hal yang dapat membatalkan dan merusak puasa seseorang, yaitu:

1. Makan dan Minum dengan Sengaja
Allah berfirman:

وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامِ إِلَى اللَّيْلِ
“Makan dan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (Al-Baqarah:187)
Namun jika seseorang lupa maka puasanya tidak batal, berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا نَسِيَ فَأَكَلَ وَشَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا أَطْمَعَهُ اللهُ وَسَقَاهُ
“Jika ia lupa lalu makan dan minum maka hendaklah ia sempurnakan puasanya karena sesungguhnya Allah yang memberinya makan dan minum.” (HR. Al-Bukhariy no.1831 dan Muslim no.1155)
Dan juga sabdanya:
إِنَّ اللهَ وَضَعَ عَنْ أُمَّتِيْ: اَلْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَااسْتُكْرِهُوْا عَلَيْهِ
“Allah meletakkan (tidak menghukum) ummatku karena salah atau lupa atau karena dipaksa.” (HR. Al-Hakim 2/198, Ad-Daraquthniy dari Ibnu ‘Abbas dan sanadnya shahih)
2. Keluar Darah Haidh dan Nifas
Hal ini sebagaimana dikatakan ‘A`isyah:
كَانَ يُصِيْبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَوْمِ وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ
“Adalah kami mengalami hal itu (yaitu haidh), maka kami diperintahkan untuk mengqadha` puasa dan tidak diperintahkan mengqadha` shalat.” (Muttafaqun ‘alaih)


3. Melakukan Jima’ (Hubungan Suami Istri) di Siang Hari Ramadhan
Hal ini berdasarkan dalil Al-Qur`an, As-Sunnah dan kesepakatan para ‘ulama. Bagi yang melakukannya diharuskan membayar kaffarah yaitu membebaskan budak, bila tidak mampu maka berpuasa dua bulan secara berturut-turut, dan bila tidak mampu juga maka memberi makan 60 orang miskin.
Jumhur ‘ulama berpendapat wajibnya membayar puasa (mengqadha`) bagi yang merusak puasanya dengan jima’ dengan alasan bahwa puasa yang diwajibkan kepadanya belum ia laksanakan (karena batal disebabkan jima’), maka puasa itu masih menjadi tanggungannya.
Hukum ini berlaku secara umum baik bagi laki-laki maupun perempuan.
Adapun apabila seseorang melakukan hubungan suami-istri karena lupa bahwa dia sedang berpuasa, maka pendapat yang kuat dari para ‘ulama adalah puasanya tidak batal, tidak ada qadha` dan tidak pula kaffarah. Hal ini sebagaimana hadits Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ نَاسِيًا فَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ وَلَا كَفَّارَةَ
“Barangsiapa yang berbuka sehari di bulan Ramadhan karena lupa, maka tidak ada qadha` atasnya dan tidak ada kaffarah (baginya).” (HR. Al-Baihaqiy 4/229, Ibnu Khuzaimah 3/1990, Ad-Daraquthniy 2/178, Ibnu Hibban 8/3521 dan Al-Hakim 1/595, dengan sanad yang shahih)
Kata ifthaar mencakup makan, minum dan bersetubuh (jima’). Inilah pendapat jumhur ‘ulama dan dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Asy-Syaukaniy.
4. Suntikan yang Mengandung Makanan
Yaitu suntikan yang kedudukannya sebagai pengganti makanan maka hal ini membatalkan puasa, karena nash-nash syari’at bila didapatkan pada sesuatu yang termasuk dalam penggambaran yang sama maka dihukumi sama seperti yang terdapat dalam nash.
Gambarannya adalah menyalurkan zat makanan ke perut dengan maksud memberi makanan bagi orang sakit. Suntikan seperti ini membatalkan puasa, karena memasukkan makanan kepada orang yang berpuasa. Adapun jika suntikan tersebut tidak sampai kepada perut tetapi hanya ke darah, maka itupun juga membatalkan puasa, karena cairan tersebut kedudukannya menggantikan kedudukan makanan dan minuman. Kebanyakan orang yang pingsan dalam jangka waktu yang lama diberikan makanan dengan cara seperti ini, demikian pula yang dipakai oleh sebagian orang yang sakit asma, inipun membatalkan puasa.
Hal-hal yang Diperbolehkan bagi Orang yang Berpuasa
1. Bersiwak
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Jika aku tidak memberatkan ummatku, niscaya akan kuperintahkan mereka bersiwak setiap hendak wudhu`.” (Muttafaqun ‘alaih) Dan dalam lafazh lain: “setiap hendak shalat.”
Ini berlaku untuk siwak. Adapun pasta gigi maka berbeda dengan siwak. Jika dikhawatirkan ketika memakai pasta gigi di siang hari akan terasa rasa pasta giginya atau khawatir tertelan maka sebaiknya dihindari.
2. Masuknya Waktu Fajar dalam Keadaan Junub
Hal ini berdasarkan hadits ‘A`isyah dan Ummu Salamah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapati waktu fajar dalam keadaan junub setelah berjima’ dengan istrinya, kemudian beliau mandi dan berpuasa. (Muttafaqun ‘alaih)
3. Berkumur-kumur dan Memasukkan Air ke dalam Hidung, Asalkan Tidak Berlebihan
Laqith bin Shabirah meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Dan bersungguh-sungguhlah kalian dalam beristinsyaq (memasukkan air ke dalam hidung ketika wudhu`) kecuali bila kalian dalam keadaan berpuasa.” (HR. Abu Dawud 1/132, At-Tirmidziy 3/788, An-Nasa`iy 1/66 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albaniy)
4. Menggauli Istri selain Jima’
Sebagaimana yang dikatakan oleh ‘A`isyah:
“Adalah Rasulullah mencium (istrinya) dalam keadaan beliau bepuasa dan menggaulinya (tetapi bukan jima’) dalam keadaan beliau berpuasa.” (Muttafaqun ‘alaih)
Akan tetapi bagi orang yang khawatir akan keluarnya mani dan terjatuh pada perbuatan jima’ karena syahwatnya yang kuat, maka yang terbaik baginya adalah menghindari perbuatan tersebut. Karena puasa bukanlah sekedar meninggalkan makan atau minum, tetapi juga meninggalkan syahwatnya. Rasulullah bersabda:
“(Orang yang berpuasa) itu meninggalkan syahwatnya dan makannya karena Aku.” (HR. Muslim)
Dan beliau juga bersabda:
“Tinggalkan hal-hal yang meragukanmu kepada yang tidak meragukanmu.” (HR. At-Tirmidziy dan An-Nasa`iy, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albaniy dalam Al-Irwa`)
5. Mencicipi Makanan dan Menciumnya, Asalkan Tidak Masuk ke dalam Kerongkongannya
Berkata Ibnu ‘Abbas:
“Tidak mengapa seseorang mencicipi cuka atau sesuatu (yang lain) selama tidak masuk kerongkongannya dalam keadaan dia berpuasa.” (Diriwayatkan Al-Bukhariy secara mu’allaq dan disambung sanadnya oleh Ibnu Abi Syaibah 3/47 dan Al-Baihaqiy 4/261, hadits ini hasan, lihat Taghliiqut Ta’liiq 3/151-152)
6. Mandi di Siang Hari Ramadhan
Al-Imam Al-Bukhariy menyatakan dalam kitab Shahihnya: “Bab Mandinya orang yang puasa”. Dan ‘Umar membasahi bajunya kemudian memakainya ketika dia dalam keadaan puasa. Asy-Sya’biy masuk kamar mandi dalam keadaan berpuasa.
Al-Hasan berkata: “Tidak mengapa berkumur-kumur dan memakai air dingin dalam keadaan puasa.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengguyurkan air ke kepalanya dalam keadaan berpuasa karena haus atau kepanasan. (HR. Abu Dawud no.2365, Ahmad 5/376, 380, 408, 430, sanadnya shahih)
7. Bercelak, Memakai Tetes Mata dan Lainnya yang Masuk ke Mata
Benda-benda ini tidak membatalkan puasa, baik rasanya yang dirasakan di tenggorokkan atau tidak. Inilah yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam risalahnya yang bermanfaat dengan judul Haqiiqatush Shiyaam dan murid beliau yaitu Ibnul Qayyim dalam kitabnya Zaadul Ma’aad.
Al-Imam Al-Bukhariy berkata dalam Shahihnya: “Anas bin Malik, Hasan Al-Bashriy dan Ibrahim An-Nakha’iy memandang, tidak mengapa bagi yang berpuasa.” (Fathul Baarii 4/153 hubungkan dengan Mukhtashar Shahih Al-Bukhariy 451 karya Asy-Syaikh Al-Albaniy dan Taghliiqut Ta’liiq 3/151-152)
8. Menggunakan Suntikan yang Tidak Berkedudukan Sebagai Penggati Makanan
Maka hal ini tidaklah membatalkan puasa sebab gambarannya tidak seperti yang terdapat dalam nash baik lafazh maupun makna, tidak dikatakan makan dan tidak pula minum dan tidak pula termasuk dalam makna keduanya. Dan asalnya adalah sahnya puasa seorang muslim sampai meyakinkan pembatalnya berdasarkan dalil yang syar’i. (Lihat Fataawaa Islaamiyyah)
Akan tetapi sebaiknya orang yang sakit berbuka supaya tidak terjatuh ke dalam perkara yang syubhat.
9. Berbekam
Dahulu berbekam merupakan salah satu pembatal puasa, namun kemudian dihapus dan telah ada hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau berbekam ketika puasa. Hal ini berdasarkan riwayat dari Ibnu ‘Abbas:
“Sesungguhnya Nabi berbekam, padahal beliau sedang berpuasa.” (HR. Al-Bukhariy dalam Fathul Baarii 4/155 lihat Naasikhul Hadiits wa Mansuukhuh 334-338 karya Ibnu Syahin)
Wallahu A’lam.
Maraaji’:
1. Shifatu Shaumin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
2. Majalah Asy-Syari’ah Vol. I/No.03

0 komentar to “pembatal puasa dan yang diperbolehkan”

Posting Komentar

 

AE65 Copyright © 2011 | Template design by O Pregador penyesuaian by ae65 disain| Powered by Blogger

Selamat datang di Blog Kang Ismet. Ini hanya contoh dialog box sederhana dengan jQuery. Untuk membuatnya, silahkan fahami sedikit demi sedikit, jangan terburu-buru.
OK